Senin, 21 Juli 2014

Mari Ikut Kami

Mari Ikut Kami

“Setelah sekian lama bergonta-ganti hotel, sepertinya hotel ini layak aku nobatkan sebagai hotel dengan fasilitas paling buruk.”
                Entah saat ini matahari sedang bertengger di sebelah mana. Aku tak dapat membedakannya dari dalam kamar gelap ini. Kamar dengan sebuah jendela yang mungkin lebih tepat jika disebut ventilasi untuk keluar masuk cicak dan nyamuk di malam hari. Sepertinya hari sudah agak siang karena sinar matahari sudah berjalan lurus ke ujung tempat tidurku. Sudah cukup lama aku tinggal di kamar hotel ini. Aku sendiri lupa, apa alasanku masih betah di kamar hotel ini. Dengan fasilitas yang jauh dari cukup. Mungkin kamar mandi dalam adalah satu-satunya hal yang agak ‘menjual’ dari hotel ini, bahkan nama hotelnya pun aku lupa. Disini perabotan yang disediakan hanya sebuah Kasur kayu yang selalu berdecit setiap malam, lemari kecil yang hampir tak pernah aku buka, dan sebuah cermin berbentuk oval berukuran sedang tergantung di samping Kasurku.
“Sssstt, kemari.” Sebuah suara terdengar agak sayup tapi cukup untuk membuatku bangkit dari tempat tidurku.
“Siapa disana ?.”
“Disini dibelakangmu.”
                Dari dalam cermin terlihat bayangan seorang pria sedang mengketuk-ketukan jarinya dari sisi lain cermin. Penampilannya tidak terlihat berbeda jauh denganku, dengan kulit agak lusuh dan baju kusam bergaris. Dia seperti sedang mencoba tersenyum tapi justru terlihat seperti memamerkan isi mulutnya yang membuatku agak mual.
“Apa kabar ?.”
Sebuah pertanyaan basa-basi yang tak selalu wajib untuk dijawab.
“Siapa kau?.”
“Hahaha.”
“Aku serius, jawab!.”
“Kujawab atau tidak kujawab tak akan ada bedanya bagimu.”
“Ah, terserah kau sajalah, kebetulan aku sudah lama tidak mengobrol dengan orang lain. Temani aku mengobrol!.”
“Aku tidak melihat hal itu menjadi sebuah kewajibanku.”
Orang ini sepertinya berbicara dengan suara perut, karena aku tidak melihat gerakan bibirnya setiap dia bicara.
“Kalau begitu untuk apa kau datang kemari?.”
“Datang kemari?, aku selalu disini. Aku selalu mengawasi apa yang kau lakukan di ruangan ini, melalui cermin ini. Dari saat kau tertidur hingga kau terbangun.”
                Aku sendiri tidak mempercayai perkataan orang ini, tapi entah mengapa aku memang selalu merasa ada yang sedang mengawasiku di kamar ini. Mungkin orang ini tidak berbohong.
“Dan mengenai urusanku disini, aku hanya merasa iba melihat kau mondar-mandir tak jelas di ruangan ini. Kau butuh suasana baru kawan!.”
“Oh ya!, lalu apa yang bisa kau tawarkan? Masuk ke cermin?. Hah!.”
“Tepat sekali!. Mari ikut kami, disini semuanya lebih cerah.”
“Tapi, aku pikir tadi itu…”
“Sssst sudahlah, mari kutunjukan caranya…”
                Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu kamarku, lalu pintu itu berdecit dan terbuka dari luar. Seorang wanita dengan pakaian rapi berwarna putih bersih masuk ke dalam sambal membawa sebuah nampan berisi sepiring nasi beserta lauk pauknya dan segelas air putih.
“Permisi tuan, sepertinya tuan sudah bangun. Ini sarapannya.”
“Ya ya, taruh saja di pojok sana.”
“Baik tuan.”
“Kenapa kalian tidak berpakaian seperti pelayan-pelayan hotel lainnya?.”
Pakaian pelayan hotel disini memang aneh sejak aku pertama kali masuk di hotel ini, aroma para pelayan disini juga aneh. Seperti bau obat.
“Ini memang sudah menjadi ciri khas kami, tuan.”
Pelayan itu hanya tersenyum lalu meninggalkan ruangan. Pintu berdecit dan tertutup lagi, terdengar suara pintu terkunci dari luar.
“Hotel yang aneh…, Sampai dimana kita tadi?.”
*****
Sarapan untuk pasien nomor 0192 sudah diantarkan. Dari sekian banyak pasien disini, pasien yang satu itu memang terlihat seperti orang waras. Entah trauma apa yang dialami pria itu hingga dia berakhir disini.
“Apa!, kau yakin dengan ini?.”
Sepertinya itu suara dari pasien 0192, hari ini sepertinya dia mulai bermonolog lebih awal.
“Sudah, percaya saja, pasti berhasil.”
“Baiklah, akan kucoba.”
Tiba-tiba terdengar suara sesuatu pecah, seperti suara kaca yang dihantam benda keras. Suara serpihan kecilnya pun terdengar sedang bergelatakan di lantai. Sepertinya suara itu berasal dari kamar milik pasien 0192.
“Ada apa ini?.”
                Kepala perawat terlihat sedang  bergegas dan berusaha mendobrak pintu kamar pasien tersebut.
“Mana kuncinya?.”
“Ini pak.”
Setelah pintu dibuka. Terlihatlah sebuah pemandangan yang akan kuingat seumur hidupku. Pasien nomor 0192 sedang terduduk di kasurnya sambil memegang pecahan cermin.
“Mari ikut kami...”

Dia tersenyum sambil menatapku.Tapi bukan tatapan dan senyumnya yang membuatku ketakutan, melainkan tenggorokannya yang sudah terurai di pangkal lehernya.

Sabtu, 02 Juni 2012

Jendela Kayu


Jendela Kayu


            “Sekarang aku tahu, mengapa  harga sewa kamar disini begitu murah. Jika saja aku mengetahuinya lebih awal. Aku tak akan menyewanya.”
            Sore itu aku telah tiba di kota tujuanku. Tak ada waktu istirahat barang semenit pun bagiku. Aku tak punya sanak saudara di sini, kini aku harus mencari tempat menginap secepatnya. Dengan uang yang kubawa ini, sepertinya sebuah hotel kelas melati sudah terasa lebih dari cukup.
            Semua hotel yang ada di dekat pusat kota harganya cukup mahal. Bahkan hotel kelas melati di dekat pusat kota pun berani memasang tarif sekelas hotel berbintang. Mau bagaimana lagi, kini aku berada di salah satu kota tersibuk dan terpadat di negeri ini. Mau tak mau aku harus mencari hotel lain dengan tarif yang lebih terjangkau.
            Setelah berkeliling dan bertanya kepada warga sekitar, aku menemukan sebuah hotel yang cukup terjangkau tarifnya. Letaknya memang tidak begitu dekat dengan pusat kota, hotel ini terletak di dekat pelabuhan, bagian utara dari pusat kota. Tempatnya tidak begitu ramai malah terhitung sepi. Aku suka. Dari tulisan samar-samar di dinding hotel ini terbacalah kata “TERATAI”, yang dapat dipastikan adalah nama dari hotel ini.
            Tak perlu pikir panjang lagi. Aku segera menanyakan harga kamar di hotel ini. Dari kondisi tempatnya. Aku dapat memperkirakan kalau harga kamar di hotel ini akan cukup murah.
            “Kamar kelas standar untuk satu orang masih ada mas ?.” pertanyaan yang tidak perlu kutanyakan lagi, karena sepertinya hotel ini belum menerima tamu hari ini.
            “Masih, mau di cek dulu ?.” Jawab resepsionist hotel seadanya. Sambil mengambil tiga buah kunci kamar hotel.
            “Boleh, kalau bisa yang ada jendelanya ya, mas.” Suasana hari ini memang cukup gerah, sebuah kipas angin mungkin tidak akan cukup untuk mendinginkannya.
            “Oh, kalau itu ada mas, tinggal satu kamar, ini.” Sambil menunjukan kunci kamar bernomor 15.
            “Berapa yang itu mas ?.”
            “Lima puluh ribu, fasilitasnya kamar mandi dalam, kipas angin, sama televisi. Ini satu-satunya kamar yang ada jendelanya mas.” Dengan nada meyakinkan, sambil menawarkan kunci tersebut.
            “Okelah, saya ambil yang itu aja” sambil menyelesaikan administrasi dan membayar sewa kamar.
            “Langsung ke kamarnya aja mas, ada di lantai tiga.” Si pelayan terlihat malas untuk beranjak dari kursinya.
            Kondisi kamar ini tidak terlalu buruk, bahkan cukup baik. Mungkin jika mereka mengganti bohlam lampu lima watt ini dengan lampu yang lebih terang, kamar ini akan terlihat lebih nyaman. Kuhidupkan semua alat elektronik di kamar ini, mulai dari kipas angin sampai televisi. Memang hanya itu alat elektronik di kamar ini. Kipas angin ini sepertinya membutuhkan sedikit reparasi, suara baling-baling kipasnya sangat mengganggu, seperti mendengar mesin jet karatan yang sedang dipanaskan. Televisi pun tidak jauh berbeda nasibnya, gambarnya seperti terbelah secara vertikal di bagian tengah. Setidaknya di kamar ini masih ada jendelanya. Kubuka jendela itu, agar tidak terlalu gerah. Jendela itu mengarah ke seberang jalan. Aku bisa melihat beberapa kendaraan bermotor lalu lalang di jalan tersebut. Langit sore yang jingga pun terlihat dari jendela kayu ini.
            “Sepertinya aku perlu memeriksa kamar mandi.” Gumamku pelan. Sambil membongkar isi ransel besarku. Mandi merupakan hal mewah bagiku, setelah hari yang melelahkan ini.
            Matahari telah terbenam sebagian ketika aku menyelesaikan ritual bersih-bersihku. Tidak ada hal yang bisa kulakukan di dalam kamar hotel ini, perutku pun mulai keroncongan karena sejak siang tadi aku belum makan. Kuputuskan untuk turun ke bawah, dan mencari warung terdekat untuk sekedar membeli makanan dan mungkin mencari kawan untuk mengobrol.
            Tepat didepan hotel, sebuah warung angkringan kecil dengan tenda berwarna oranye baru saja buka. Si bapak pemilik warung baru saja selesai melakukan sentuhan akhir dengan menggeser kursi panjang didekat meja warung. Pemilik warung itu melihatku sedang memperhatikan warung dari pintu hotel dan tersenyum.
            “Mari, mas, pelanggan pertama dapat diskon!” ucap pemilik warung itu sambil tersenyum.
            “Beneran diskon lho pak !,”  kataku sembari berlari kecil menuju warung itu.
            “Hahaha, mumpung masih komplit, mau ambil apa mas ?”
            “Yang penting nasi dulu.” Ucapku sambil menyambar nasi bungkus yang masih hangat dan sate telur puyuh.
            “Minumnya apa mas ?” si pemilik warung sudah mempersiapkan gelas untukku.
            Kopi hitam panas, gulanya sedikit saja”
            “ Ditunggu sebentar ya, mas. Airnya belum mateng.”
            “Ya.”
            “Bukan warga sini ya?, baru pindah?” si pemilik warung menyipitkan matanya saat mencermati wajah tamunya, sembari memuntir kumis abu-abunya.
            “Oh bukan, Pak. Saya sedang berlibur saja di kota ini.”
            “Menginap dimana mas?, hotel itu ya?” sambil menunjuk hotel tempatku menginap.
            “Betul.” satu porsi nasi bungkus telah habis kulahap. Kini jariku mulai menelusuri kumpulan gorengan yang masih hangat.  
            “Jika saya jadi anda, saya akan mencari hotel yang lain di tempat yang lain.”
            “Lho, memangnya kenapa pak?.” sebenarnya aku juga kurang suka dengan suasana hotel itu.
            “Soalnya hotel itu bangunan yang letaknya paling dekat dengan rumah itu. “, sambil menunjuk dengan dagunya, sebuah rumah besar dengan arsitektur belanda yang berdiri tepat di seberang jalan.
            “itu adalah rumah keluarga Rosenberg.” Seorang pria berjaket kulit yang baru duduk di kursi ikut menyambung kalimat si pemilik warung.
            “Kemana aja kau Bud, lama tak nampak batang hidung kau!.” Tegur si pemilik warung kepada si pendatang baru.
            “Sorry Dul, aku baru dapat proyek di luar kota. Kita reunian disini saja ya, aku sudah telpon si Jono tadi.” Kata si pria pendatang, sambil menyalakan sebatang rokok kretek.
            Kedua pria itu terlihat akrab satu sama lain. Sepertinya mereka memang kawan lama. Si pemilik warung terlihat tertawa terbahak sesekali ketika mengobrol dengan pria itu. Dan pria itu tak kalah sumringah ketika membicarakan kisah-kisah masa lalu mereka.
            “Sampai mana tadi aku ?.” kata pria itu sambil menoleh ke arahku.
            “Rumah keluarga Rosenberg”  Jawabku secara spontan. Aku masih penasaran dengan rumah itu dan kisah dibaliknya.
            “Ah iya, haruskah aku menceritakan kisah ini kawan?” pria itu menoleh ke arah pemilik warung.
            “Terserah kau,” kata si pemilik warung sambil meletakan kopi panas pesananku di meja.
            “Baiklah, jadi begini ceritanya. Dulu, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Keluarga Rosenberg tinggal di rumah itu. Mereka adalah keturunan terakhir dengan marga Rosenberg yang ada di kota ini. Sepasang suami istri dan seorang anak perempuan berumur 9 tahun bernama Amelia Rosenberg.”
            “Keluarga ini terkenal akan kekayaannya. Kedua orang tua Amelia sering pergi berlibur ke luar kota, dan meninggalkan anak perempuanyna bersama seorang pengasuhnya. Sendirian di rumah.”
            “Sampai suatu hari ketika mereka pergi berbelanja ke luar kota. Rumah mereka kedatangan oleh tiga orang perampok. Mereka menyekap Amelia di dalam kamar dan meminta uang tebusan pada kedua orang tuanya. Perampok ini pun tidak segan-segan membunuh pengasuh Amelia.”
            “Pokoknya tiga perampok itu orangnya brutal, dek” si pemilik warung ikut menyambar kalimat pria itu.
            “ Hampir dua minggu setelah penyekapan di rumah itu. Tidak ada kabar dari kedua orang tua Amelia. Tepat pada minggu kedua ketiga bandit itu menyerahkan diri ke kantor polisi tanpa alasan yang jelas. Keadaan mereka begitu memprihatinkan, wajah mereka pucat, keringat dingin bercucuran dari wajah mereka, bahkan salah seorang dari perampok itu mengalami luka sobek cukup serius di bagian wajah sebelah kanannya.”
            “Polisi lalu segera memeriksa keadaan rumah keluarga Rosenberg. Jasad pengasuh Amelia ditemukan di bagian loteng rumah itu, tapi Amelia sendiri menghilang entah kemana.” Tangan pria itu terlihat gemetar sembari memegang rokoknya.
            “Seminggu setelah penyerahan diri tiga perampok itu. Sebuah kabar datang dari kedua orang tua Amelia. Mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan dan masuk ke jurang. Jasad sepasang suami istri tersebut ditemukan oleh warga sekitar. Sementara keberadaan Amelia sendiri masih belum diketahui.”
            “Setiap kali aku mengingat kisah itu, semakin sulit aku tidur.” Si pemilik warung yang sejak tadi mendengarkan, ikut menimpali.
            “Masa iya dul?, hahaha.” Sambar pria itu.
            “Kudengar, para bandit itu sudah bebas sekarang.”
            “6 tahun dalam kurungan sepertinya lebih nyaman dan aman daripada diluar sana. Hahaha.” Tawanya terdengar hambar.
            Aku mulai merasa kurang nyaman berada di warung itu. Ditambah aku telah cukup banyak mengobrol, mungkin aku telah mengetahui terlalu banyak tentang tempat ini. Segera kuhabiskan kopi hangat yang sudah mulai dingin, lalu pamit pulang ke kamarku.
            “Sepertinya saya harus kembali ke kamar. Besok harus bangun pagi, supaya tidak ketinggalan bus. Ambil aja kembaliannya pak” Ucapku kepada kedua pria itu. Sambil membayar makanan yang kupesan.
            “Ah iya, terima kasih mas.” Si pemilik warung langsung memasukan uangnya ke dalam laci.
            “Jangan terlalu dipikirkan, ceritaku tadi.” Ujar pria itu. Walaupun tidak semudah itu melupakan sebuah kisah seram yang baru saja didengar.
            “hahaha, pasti tak akan lupa pak.” Aku hanya bisa tersenyum kecut.
Aku berjalan keluar dari warung. Kulihat rumah keluarga Rosenberg yang tak berpenghuni lagi di seberang jalan. Sebuah rumah besar dengan dinding berwarna putih gading, berdiri kokoh tepat di seberang hotel tempatku menginap. Kuperhatikan bagian halaman depan rumah itu. Sebuah ayunan tua terlihat masih terpasang di dekat kolam ikan yang sudah mengering.
Dari arah berlawanan aku melihat pria seumuran pemilik warung, sedang berjalan ke arah warung. Pria itu mengenakan kemeja abu-abu yang sudah lusuh. Di bagian wajah sebelah kanannya ada semacam codet memanjang sampai ke dagu. Aku langsung mempercepat langkahku menuju hotel.
“Akhirnya datang juga kau Jon!” suara pemilik warung dibelakangku terdengar nyaring menyambut pria berkemeja abu-abu itu.
Di dalam hotel kulihat meja resepsionist, tapi tak ada orang disana. Aku langsung berjalan menuju lantai tiga, menuju kamarku. Sepertinya semua penghuni hotel ini telah telah tertidur. Kulihat jam tanganku, waktu telah menunjukan pukul 23.52, sebaiknya aku pergi tidur juga. Kamar masih terlihat sama seperti saat kutinggalkan. Rupanya aku belum membereskan barang-barang di ranselku yang tadi sempat kubongkar.
Sambil membereskan barang-barang di ranselku aku menengok keluar jendela. Terlihat warung angkringan berisi tiga orang yang terlihat asik bercanda satu sama lain. Lalu kulihat keseberang jalan. Rumah keluarga Rosenberg masih tetap sama, tak berpenghuni. Ayunan yang tadi tergeletak di halaman kini terlihat bergerak mengayun pelan. Seorang perempuan dengan pakaian lusuh sedang duduk di ayunan itu. Sepertinya rumah itu memiliki seorang penghuni. Kuperhatikan wanita itu dari balik jendela kamarku. Ia memiliki rambut pirang dan kulit putih. Seperti orang-orang keturunan Eropa.
“Mungkinkah orang ini adalah…” gumamanku tercekat, ketika perempuan itu menoleh ke arahku. Ia seperti menyadari keberadaanku. Perempuan itu tersenyum ke arahku, senyum datar dengan tatapan tanpa ekspresi. Dan dia masih tetap menoleh ke arahku.
Aku langsung mundur dan merebahkan diri di ranjangku. Aku tak berani memperhatikan jendela itu lagi. Kututupi wajahku dengan bantal, berharap agar mimpi segera datang menjemputku.
Setelah hampir setengah jam aku menutupi wajahku, aku mencoba menoleh ke arah jendela itu lagi. Sebesar apapun ketakutan itu, ia tak akan pernah bisa mengalahkan rasa penasaran. Maka aku mencoba mengintip sedikit ke arah jendela, dan kini aku melihat sesuatu yang membuatku menyesal telah menyewa kamar yang memiliki jendela.
“... Amelia Rosenberg ?.” suaraku tercekat melihat sosok berambut itu sudah menyeberangi jalan dan berdiri tepat di bawah jendela memperhatikanku dari luar.


Sabtu, 07 Januari 2012

Hitam


Mataku terbuka!. Percuma, pandanganku tetap sama, warna yang kulihat tetap sama, terbuka atau tertutup semuanya serupa. Aku bahkan tak bisa membedakan saat tidur dan terjaga. Tempat apa ini?, Bagaimana aku bisa sampai disini?. Yang bisa kulihat hanya hitam yang tak bergaris tepi.

Pernahkah kau meraba warna?. Biar kuberitahu, warna hitam memiliki tekstur yang kasar sekasar batu, aku mengetahuinya karena sekarang aku sedang meraba-raba apapun yang ada di dekatku. Hitam itu dingin dan lembab, aku dapat merasakan telapak tanganku menjadi licin dan berair.

Aku berjalan pelan menyusuri warna ini, sepertinya langkah kakiku sedang di ikuti. setiap aku melangkah ada langkah lain yang menyusul dibelakangku, kupercepat langkahku tapi langkah itu semakin cepat mengikutiku, kuhentikan langkahku hilang juga langkah dibelakangku, akhirnya aku mencoba berlari sekencang yang aku bisa tapi langkah itu ikut berlari dibelakangku. Semakin cepat aku berlari semakin cepat pula langkah itu mengikuti, hingga kakiku menyandung sesuatu, membuatku terjatuh, berhentilah langkah itu. setelah kuperhatikan lagi, ternyata itu hanya suara dari langkah kakiku yang menggema di seisi ruangan, betapa melegakannya, tambahan lagi, ternyata warna hitam itu penghantar gema yang baik.

Semakin lama aku menyusuri Ruang Hitam ini, semakin aku meragukan kewarasanku. Apakah aku sedang bermimpi?, semuanya terlihat tidak nyata (walaupun aku tidak benar-benar melihatnya). Dan yang paling buruk, apakah aku sudah mati?, bisa jadi ini merupakan jalan menuju akhirat. Tak ada yang tidak mungkin jika kau berada dalam posisiku.

Sepertinya aku memang sudah mati. Mengapa aku bisa berkata begitu ?. Itu karena aku pernah dengar bahwa jika kau sudah mati rohmu akan di berjalan menyusuri lorong gelap dan kau akan berjalan menuju sebuah cahaya. Dan cahaya itu telah terlihat bagiku. Aku melihat sebuah titik cahaya kecil dari kejauhan, aku sedikit ragu, apakah aku harus menghampirinya atau tidak.

Semakin aku memperhatikan cahaya itu. Semakin besar dan dekat kelihatannya cahaya itu. Aku tidak ingin membuang waktuku aku berlari menuju cahaya itu dan sepertinya cahaya itu juga bergerak mendekatiku. Aku berhenti berlari ketika cahaya itu terlihat cukup dekat, membuat aku bisa melihat apa yang ada dibelakangnya. Aku melihat sebuah jendela kaca dan seorang pria dibelakang kemudi. Cahaya itu meraung dengan kerasnya.

Tunggu dulu. Aku belum mati, semua kegelapan yang aku rasakan ini adalah karena aku berada di bawah tanah, jalur kereta bawah tanah. Dan kereta itu sedang melesat menuju arahku, sebuah benda besar bercahaya itu akan merenggut nyawaku. Cahaya telah merenggutku.

"Setidaknya kali ini aku akan mati juga."

Senin, 02 Januari 2012

Hai...!

Terimakasih untuk anda yang sudah membuka halaman ini. nantinya halaman ini akan saya isi sedikit demi sedikit dengan tulisan-tulisan yang berisi beberapa cerita pendek atau mungkin segelintir pemikiran absurd tentang hidup yang sudah cukup lama terkurung di dalam gumpalan daging merah muda yang terbungkus tulang tempurung kepala seorang manusia ini. Mungkin halaman ini bisa menyalurkan sebagian pikiran yang masih dengan liciknya bersembunyi dan bergelantungan di jaringan-jaringan otak saya yang masih belum menyatu dengan sempurna.

Jika nantinya anda menemukan beberapa tulisan yang membuat anda merasa tidak nyaman, anda berhak untuk tidak membacanya. lagipula kisah-kisah yang nanti akan saya ceritakan kepada anda hanya sebuah karangan (mungkin).

Dan yang terakhir, saya mohon maaf jika nanti anda akan menemukan tata bahasa indonesia yang kurang luwes dan terkesan kaku, karena jujur saya kurang memahami sastra dan bagaimana cara menyusun kata-kata dalam sebuah kalimat dengan benar.





Terimakasih

G.B.